Selasa, 03 Mei 2011

Sekitar Seni Tutur Madura Dan Upaya Revitalisasi

Kepulauan Madura adalah bagian dari Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang terdiri dari empat Daerah Tingkat II Kabupaten, yaitu Kabupaten Bangkalan yang terletak di ujung barat pulau, dan secara berurutan ketimur ialah, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan yang di ujung timur ialah Kabupaten Sumenep.
Secara astronomis Madura terletak antara 6O lintang selatan dengan 7O lintang selatan, dan antara 112O bujur timur dengan 116O bujur timur. Sedangkan yang termasuk kepulauan Madura, atau eks Keresidenan Madura ialah 65 pulau yang mengelilingi pulau Madura, antara lain pulau Mandagil (pulau Kambing), Gili Raja, Gili Genting, Pulau Poteran, Gili Iyang, pulau Sepudi, pulau Raas, pulau Tonduk, pulau Waguwa, pulau Komerean, pulau Kangean, pulau Saobi, pulau Maslembu, pulau Karamean dan lain-lain. Semua pulau-pulau itu dihuni oleh penduduk yang disebut orang Madura atau suku bangsa Madura, kecuali di beberapa pulau kecil, seperti di Pagerungan Besar, pulau Araan, pulau Sapeken, pulau Sakala dan lain-lain yang berpenduduk berasal dari keturunan Bugis dan Mandar yang sebagian besar masih menggunakan bahasa nenekmoyangnya.
Jumlah pemakai bahasa Madura mencapai sejumlah 9.000.000 orang (Hariyadi, 1981). Pemakai Bahasa Madura selain terdapat di wilayah Kepulauan Madura banyak terdapat di wilayah eks Karesidenan Besuki, pantai utara eks Keresidenan Malang dan di beberapa kota dan daerah lain di Jawa Timur. Bahkan pada tahun 1850 jumlah orang Madura di daerah Jawa Timur sudah lebih banyak dari yang berdiam di pulau Madura sendiri (De Jonge, 1989: XII).
Legenda pernah mengungkapkan bahwa zaman pra sejarah pulau Madura itu hanya berpenghuni kera dan bermacam margasatwa (Zainalfattah, 1951). Baru setelah Bendoro Gung, seorang puteri dari keraton Medangkamulan, dengan puteranya bernama Raden Segoro terdampar di Kamal, konon pulau iti mulai berpenghuni manusia.
Sari sebuah cerita legenda kita mamang tidak bisa menetapkan sebuah kesimpulan. Meskipun demikian bahwa, suku bangsa Madura tidak termasuk etnis yang teramat tua. Bisa dilihat dengan tidak akanya peninggalan-peninggalan sejarah di Madura yang umurnya tidak lebih 15 abad. Dengan demikian sebelum bukti-bukti arkeologis yang lebih lawas (arkais) ditemukan, ada kecenderungan bahwa suku bangsa Madura adalah suku bangsa yang muda.
Sedangkan pemerintahan yang berbentuk kadipaten pertama di Madura dimulai sekitar bulan Oktober 1269. Berdasarkan hasil seminar, Bermula Arya Wiraraja menjabat sebagai adipati di Madura, ditetapkan tanggal 31 Oktober 1296. (Sukarta K Atmadjaya, 1989). Sebelum itu, Madura hanya diperintah oleh Akuwu, yang nama-namanya tidak pernah dicatat oleh sejara.
Catatan sejarah pulau Madura di masa purbakala tak ada peninggalan-peninggalan arkais yang cukup berarti. Kitab tertua yang pernah menyebutkan pulau itu adalah buku Paraton yang ditulis antara tahun 1475 samapi dengan 1485.
Setiap daerah dengan etnisitasnya selalu mempunyai khazamah kesenian sendiri. Pulau Madura juga mempunyai aneka ragam kesenian. Penelitian tentang aneka macam kesenian Madura pernah dilakukan oleh Helene Bouvire, dalam rangka menulis desertasi doktornya. Desertasi itu sudah terbit dan terpilih sebagai buku terbaik di Perancis, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku itu membicarakan aneka ragam kesenian Madura setebal 700 halaman.
Dalam makalah ini tidak mungkin dibicarakan kesenian Madura secara luas. Saya ambil beberapa saja yang berkaitan dengan sastra tutur, dengan upaya merevitalisasinya dalam konteks kekinian.

Seni Bertutur Yang Hampir Hilang

Di Madura, dulunya hampir setiap orang tua bisa mendongengkan cerita-cerita menarik kepada anak atau cucunya. Demikian juga di wilayah-wilayah lain. Dongeng adalah kegiatan sastra bertutur yang bisa dilakukan oleh siapa saja, asalkan bisa bicara dan menguasai bahasa. Anak-anak pun akan bisa mendongeng, asalkan punya kemampuan untuk menyampaikan perasaan, pengalaman, dan apa yang pernah didengarnya. Karena itu, kalau kita cari, diantara bentuk sastra yang paling dikuasai umat manusia diseluruh permukaan bumi adalah dongeng. Keistimewaan dongeng adalah, bahwa dalam mendongeng, orang tidak memerlukan syarat apa-apa, asalkan bisa bicara menuturkan alur cerita, dan dimengerti oleh pendengar, cukuplah sudah.
Namun, bila penataan aspek estetik semakin ditingkatkan, dongeng akan terdengar lebih indah dan sekaligus lebih menarik, sehingga pendengar tidak akan beranjak dari tempat sebelum dongeng benar-benar berakhir. Akan tetapi di zaman yang semakin modern ini, dengan media elektronika yang semakin canggih, seni dongeng dan bertutur terasa mengalami surut karena didesak oleh kemasan media elektronik yang dilengkapi visualisasi.
Akan tetapi, bagi kota besar seperti Jakarta, saat ini dongeng mulai dirindukan orang. Dalam dongeng, di mana penutur dan pendengar bertatap muka secara langsung, agaknya ada hal lain yang mungkin tidak bisa disampaikan oleh media visual. Tidak mustahil bahwa pendongeng-pendongeng ulung seperti Kak We-Es Ibnu Sayy, Kak Seto, Kak Kusumo dan Miing Gumelar ternyata sangat diminati oleh anak-anak.
Kita masih beruntung karena beberapa dongeng dari berbagai daerah sudah banyak diterbitkan sebagai buku. Penerbit Grasindo menerbitkan buku “Cerita Rakyat Madura”. Namun dongeng sebagai kegiatan seni bertutur seperti baca puisi dan cerpen, sudah sangat jarang ditemukan. Para orang tua dan guru kini banyak yang tidak bisa mendongeng dan membiarkan anak-anaknya didongengi oleh televisi.
Di Madura, dulunya dongeng merupakan cerita yang hidup ditengah-tengah masyarakat agraris. Bila bulan purnama datang dengan bentuknya yang bundar keemasan, anak-anak menggelar tikar dihalaman rumah. Nenek atau kakek mendongeng diatas tikar yang digelar dihalaman rumah dengan dikelilingi oleh cucu-cucunya. Kemudian angin sepoi bertiup mendesirkan daun-daunan. Sungguh peristiwa yang romantis! Pada saat seperti ini, kerekatan dan kekerabatan menemukan bentuknya dengan berintikan jalinan kasih sayang antara generasi tua dan generasi penerusnya. Dongeng yang kadang-kadang berupa fabel yang mengisahkan tentang margasatwa akan sangat membantu menumbuhkan rasa kasih sayang pada binatang dan juga pada flora. Keistimewaan tumbuh-tumbuhan itu kadangkala berkaitan dengan sebuah legenda yang menyangkut nama lahirnya sebuah tempat. Bukankah nama-nama tempat di Indonesia, banyak menggunakan nama flora, seperti, Camplong, Ketapang, Kemuning, Gayam, Lombok, Sunda Kelapa, dan sebagainya?
Dalam penelitian, dongeng ternyata banyak menyimpan kearifan moral yang bisa mengetuk ’dunia dalam’ manusia, termasuk anak-anak, untuk belajar memaknai kehidupan dunia ini dengan pandangan cerdas yang bertumpu pada hati nurani. Sebab, pada umumnya, ajaran yang terdapat dalam dongeng adalah kasih sayang sesama manusia, cinta kasih kepada alam dan mahluk lainnya, di samping dongeng itu dapat memperkaya imajinasi.
Salah satu contoh dongeng yang didongengkan Pak Guru ketika saya duduk di kelas I SD, yang masih relevan dengan zaman, misalnya, dongeng dua ekor kambing yang saling ngotot untuk menyeberangi sungai dengan melewati titian kecil. Kambing hitam yang datang dari sebelah barat sungai ingin lewat lebih dulu, sedangkan kambing putih yang mau lewat dari timur sungai juga ngotot untuk lewat lebih dulu. Keduanya sama-sama ngotot, kedua kambing itu saling tubruk dan saling tanduk di atas titian. Karena titiannya sangat sempit, kedua kambing itu akhirnya jatuh kedalam sungai. Dari dongeng itu, orang dapat menarik hikmah, bahwa mengalah demi keselamatan bersama itu merupakan akhlak terpuji. Di daerah lain mungkin dongeng pertengkaran dua ekor kambing itu ada, tetapi untuk konteks pendidikan di Madura menjadi sangat relevan, dalam mengantisipasi budaya “Carok”.
Saya sangat setuju dengan Lewis Caroll yang mengatakan bahwa dongeng adalah “tanda kasih”. Berkisah dan berdongeng, seperti bakaba di Minangkabau, dan sinrilik di Sulawesi Selatan, tidak lain adalah memberi hadiah, sebagai tanda cinta kasih, keramahan dan kepedulian. Mendongeng adalah memberi kesadaran kepada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, serta penghormatan pada kehidupan. Dongeng yang dituturkan seorang ibu kepada putranya, adalah bentuk kasih sayang yang merohani. Kegiatan dongeng sampai sekarang ini, seharusnya merupakan wujud dari kepedulian pada warisan budaya yang sengaja diorientasikan kepada tantangan masa depan.
Ketika banyak orang tidak peduli lagi kepada dongeng, sedangkan kearifan dari budaya asing juga tidak bisa diraup, maka upaya melestarikan kearifan dan budaya tradisional yang masih mungkin untuk diolah secara kreatif, sudah tentu akan punya nilai yang sangat berharga karena menunjukkan adanya tanggung jawab kebudayaan. Usaha ini sebagai langkah pertama yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya.
Dalam bukunya “Mempertimbangkan Tradisi”, Rendra mengajak kita untuk bersikap selektif dan kritis terhadap tradisi. Warisan tradisi perlu dicermati, yang masih relevan dengan zaman perlu diolah secara kreatif sehingga tetap memberi daya hidup. Sedangkan tradisi yang tidak memihak kehidupan perlu ditinggalkan. Dongeng, sebagai warisan masa lalu perlu dikaji ulang, untuk kemungkinannya dihidupkan dengan selera baru dan kalau perlu diberi substansi baru. Bahkan, sastra tulis pun perlu mencari inspirasi dari sastra lisan yang disebut dongeng.
Sebagian generasi muda seharusnya ada yang tampil untuk merevitalisasi warisan budaya itu agar tetap terpelihara dan mampu memberikan inspirasi dalam perjalanan kebudayaan menuju masa depan. Adanya otoda, seharusnya dijadikan kesempatan emas untuk mengangkat dongeng dan sastra tutur lainnya sebagai salah satu sastra lisan yang nuansanya akan turut memperkokoh jatidiri kebudayaan dalam era globalisasi yang penuh tantangan.
Dalam sastra Indonesia modern, ternyata ada beberapa sastrawan yang menimba inspirasi dari dongeng. Upaya “kembali ke akar”, yang maksudnya akar budaya, telah diupayakan beberapa sastrawan dengan menimba inspirasi dari dongeng.
Sebagian dari puisi-puisi Rendra, seperti “Balada Terbunuhnya Atmo Karpo”, “Jante Arkidam“ karya Ayip Rosidi, “Gatoloco, “Asmaradana,”,dan “Pariksit” karya Goenawan Mohamad, adalah karya-karya yang digali dari khazanah dongeng. Bahkan balada-baladanya WS. Rendra merupakan dongeng yang dipadatkan dan dibumbui dengan metafor-metafor dan bahasa yang plastis.
YB Mangunwijaya menulis roman “Roro Mendut” yang alur ceritanya tidak harus taat kepada pakem. Romo Mangun berupaya untuk memberi substansi baru. “Roro Mendut-“nya Romo Mangunwijaya bukan perempuan yang putus asa, tetapi perempuan perkasa. Sedangkan Gus Tf menulis roman “Tambo” yang digali dari tambo Minangkabau, dengan upaya kreatif menghubungkan peristiwa dongeng dengan kehidupan kekinian, sehingga dongeng (tambo) Minangkabau itu dengan menggunakan teknik bercerita yang cerdik dan bagus, bisa dijadikan bacaan yang punya selera dan filosofi kekinian.
Dalam penulisan naskah teater banyak juga penulis menimba inspirasi dari dongeng. Antara lain Akhudiat dengan “Joko Tarub”, Aspar dengan “Samindara”, N.Riantiarno dengan “Sampek Eng Tay”, Arifin C Noer dengan “Dalam Bayangan Tuhan”. Dalam naskah yang disebut terakhir ini Arifin C Noer menampilkan tokoh dongeng si Malin Kundang. Dalam naskah itu, seorang anak durhaka yang kaya raya dan tidak mengakui ibunya itu telah menyorot ibunya dengan sinar laser sehingga sang ibu menjadi batu. Arifin melukiskan tragedi kemanusiaan yang mengerikan dengan rontoknya nilai-nilai mulia. Orang tua yang telah berjasa sudah tidak dimuliakan lagi, bahkan setelah ibu Malin Kundang menjadi batu, kemudian diserahkan ke museum sebagai fosil.
Beberapa karya sastra yang disebut di atas, meskipun digali dari dongeng, tetapi telah mengalami pengolahan kreatif, sehingga kehadirannya jelas memberi kesegaran baru bagi pembaca moderen. Itulah yang disebut Ignas Kleden, mengolah tradisi dengan cara yang tidak tradisional. Dongeng bisa dijadikan bahan baku sekaligus batu loncatan dalam melakukan olah kreatif. Daya kreatif itulah yang membuat sesuatu yang lama tampil sebagai sesuatu yang baru, segar, serta memberi visi baru bagi pembacanya.
Permasalahan menimba inspirasi dari dongeng, tergantung bagaimana sastrawan masa kini berolah pikir dan berolah rasa secara visioner, sehingga apa yang ditulisnya meskipun berasal dari sastra lama, tetapi tetap tampil segar dan menyegarkan karena ada nilai-nilai dan spirit baru yang bisa dijadikan bekal untuk merawat kehidupan dan peradaban.
Bahkan, dalam diskusi skenario, yang menjadi bagian dari agenda Festival Film Asean ke-14, di Jakarta 1984, Willy Karamoi dari TVRI menyatakan: “Untuk memperbaiki penulisan skenario, mungkin dapat dipertimbangkan kita belajar dari substansi akar mendalam wayang dari Jawa, maengket dari Sulawesi Utara, dagelan dari Jawa Tengah, lenong dari Jakarta, dan sebagainya. Walaupun dia melukiskan kebudayaan tradisional, tetapi dapat diangkat ke permukaan kontemporer”.
Daya kreatif adalah milik orang-orang yang selalu berpikir dan berpikir. Dari kegiatan berpikir itulah, secara sadar seorang penulis akan melakukan upaya mencari dan mencari. Karena dengan mencari itulah akan ditemukan sesuatu yang lain atau baru.
Salah satu contoh dari khazanah sastra tua dari Sulawesi Selatan, yaitu “Lagaligo”, telah dapat memberi inspirasi kepada Robert Wilson untuk mementaskannya dalam bentuk teater modern tanpa kehilangan kebugisannya. Teater itu dipentaskan keliling dunia dimulai sejak bulan Maret 2004 yang lalu.

Dongeng Yang Dipentaskan

Selain dongeng yang dituturkan, di Madura ada berbagai dongeng dan sastra lisan lainnya yang dipentaskan dalam bentuk karya teater tradisional, seperti topeng (dalang), ajing (sekarang berubah menjadi ludruk), slabadan, lawak dan lain-lain. Pertunjukan-pertunjukan itu menjadi menarik selain tokoh-tokoh cerita diperankan masing-masing oleh seorang pemain, juga diiringi oleh gamelan Madura, yang peralatan dan irama gendingannya tidak banyak berbeda dengan gamelan Jawa. Masing-masing daerah di Madura punya variasi-variasi yang beragam, misalnya, pada kidung-kidung yang dibawakan, antara Madura barat dengan Madura timur ada cengkok lagu yang berbeda.
Baik ludruk, slabadan, maupun topeng, ditanggap orang untuk berbagai keperluan, seperti, untuk merayakan perkawinan, ruwatan dan lain-lain. Untuk kesenian topeng, kisah-kisah yang ditampilkan pada umumnya dinukil dari Mahabarata dan Ramayana, sedangkan ludruk pada umumnya menampilkan cerita kerajaan baik di Jawa maupun dari tempat lain di Indonesia, seperti cerita “Damarwulan”, “Joharmanik”, “Joko Sabar”, dan beberapa cerita panji lainnya. Jadi ludruk Madura lebih dekat ke ketoprak dari pada dengan ludruk Surabaya.
Perubahan dari ‘ajing’ ke ludruk ini dimulai sejak akhir tahun 1960-an dengan munculnya ludruk “Sinar Kemala” dari Kalianget. Kemudian disusul oleh grup-grup lain di wilayah Sumenep dan wilayah Madura lainnya. Sampai sekarang, ludruk masih hidup, terutama di wilayah-wilayah pedesaan dan penggemarnya masih banyak. Semaraknya ludruk, kemungkinan besar, karena ludruk masih dibutuhkan untuk menyemarakkan pesta-pesta perkawinan. Sebagian anggota masyarakat merasa belum berpesta, kalau perkawinan anaknya tidak dimeriahkan dengan ludruk. Disamping itu, ludruk sekarang banyak yang sudah menggunakan teknik-teknik moderen dalam pementasannya sehingga penonton semakin senang. Dalam memenuhi selera penonton, tidak mustahil sesekali seorang pemeran atau pelawak ada yang menyanyikan lagu dangdut sehingga penonton merasa enjoi.
Berbeda dengan topeng, yang penggemarnya semakin berkurang. Para pemain topeng dan para tokohnya cukup berusaha untuk mempertahankan mutu pertunjukan topeng, namun sampai sekarang ini perkumpulan teater topeng sudah semakin sedikit. Yang masih ada tinggal di Kalianget, Baban dan Dasuk.
Upaya merevitalisasi topeng dalang Sumenep pernah dilakukan pada tahun 1982, ketika topeng diundang untuk pentas keliling Perancis, antara lain di gedung teater Marta Graham. Budayawan Edi Setiawan sebagai produser dan dalang Sabidin mengemas cerita topeng yang biasanya berdurasi semalam suntuk dipadatkan menjadi berdurasi 2 jam. Upaya itu memang bermanfaat. Sambutan pecinta seni di Perancis cukup baik. Untuk selanjutnya, penyingkatan (lebih tepatnya: pemadatan) cerita wayang itu terus dilaksanakan ketika topeng pentas di luar Madura, baik di Bentara Budaya Yogya dan Bentara Budaya Jakarta (Agustus 1991), Taman Ismail Marzuki (1984), maupun di Amerika dan Jepang.
Tetapi, revitalisasi itu ternyata tidak menambah penggemar topeng di pulau Madura sendiri. Pemadatan alur cerita agaknya cocok untuk penonton perkotaan atau para turis yang tidak punya banyak waktu senggang. Sedangkan untuk di kampung halamannya sendiri, topeng membutuhkan kiat-kiat baru sebagai wujud dari pencarian kreatif.
Upaya kreatif yang lain misalnya terdapat pada seni hadrah. Seni yang sangat disenangi di kalangat pesantren dan pemeluk agama itu sejak tahun 1970-an pelan-pelan melakukan perubahan. Mulai dari kostum yang menyala lengkap dengan asesoris membuat penampilannya cukup gemerlapan. Disamping itu gerak tariannya pun sebagian mengadopsi gerak silat dan senam dengan bloking yang sangat variatif. Selain itu syair-syair lagunya pun yang asalnya dari karya sastra Arab, seperti “Al-Barzanji” dan “Maulidul-Azzab”, sebagian mulai menampilkan lirik-lirik berbahasa Madura, baik yang berupa kisah maupun kritik-kritik terhadap kehidupan yang melenceng. Dengan demikian, lirik-lirik dalam seni hadrah menjadi sangat akrab dengan masyarakat religius di Madura. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya grup-grup hadrah yang meningkatkan mutu dengan segala upaya kreatifnya.

Penutup

Dari paparan di atas, betapa pentingnya kesadaran untuk menghargai warisan tradisi lisan yang bisa dijadikan tempat berpijak mencari jatidiri. Dalam era globalisasi dengan kecenderungan homogenisasi kebudayaan, penampilan jatidiri yang diangkat dari kampung halaman akan menjadi martabat tersendiri. Karena itu perlu adanya dialog budaya antara tradisi dan modernitas, antara lain dengan mengembangkan tradisi itu sesuai dengan kebutuhan ekspresi masa kini dan hari esok. Warisan tradisi lisan dan seni lainnya harus dikaji dan dipertimbangkan kemungkinan revitalisasinya.
Kerja budaya seperti itu tidak bisa dilakukan secara tambal sulam, membutuhkan pemikiran dan langkah yang serius dengan tanggungjawab yang utuh. Menggali tradisi sebagai bahan baku, kemudian mengolahnya dengan kesadaran zaman yang terus bergerak maju, merupakan sikap budaya berorientasi ke hari esok, sekaligus menciptakan harapan-harapan yang bisa dikonkretkan.
Sedangkan yang bernama perjuangan kebudayaan ada yang berhasil dan ada yang gagal. Perasaan takut gagal tidak lain adalah sikap pesimis yang tidak memihak kehidupan. Kegagalan hanyalah sukses yang tertunda. Sesudah gagal, kita harus bangkit lagi dengan potensi baru, Insyaallah akan berhasil. Sukses adalah milik orang yang tabah, tekun, suka kerja keras dan minta pertolongan kepada Tuhan.


Ringkasan Makalah:
Sekitar Seni Tutur Madura dan revitalisasi
Syaf Anton Wr

1. Suku bangsa Madura yang jumlahnya sekitar 10.000.000 jiwa mempunyai bahasa dan kesenian sendiri yang sejak dahulu bisa menjadi jatidiri bagi orang Madura. Kesenian-kesenian itu beranekaragam dan secara ruhani menjadi kekayaan orang Madura.
2. Sejak tahun 1970-an telah menjadi perubahan di Madura. Sebagian warisan tradisi itu ada yang terdesak oleh masuknya media elektronik ke pelosok-pelosok desa. Salah satu yang hampir punah itu ialah “dongeng”, kegiatan sastra tutur pada tiap keluarga yang menyajikan kisah-kisah yang mengandung kearifan moral. Kini banyak orang tua tidak bisa mendongeng lagi kepada anak-anaknya.

3. Di kota besar seperti Jakarta, Yogya dan Bandung sekarang muncul pendongeng-pendongeng profesional yang berhasil merevitalisasi dongeng sesuai dengan kebutuhan masyarakat moderen. Untuk itu diperlukan dialog budaya antara warisan tradisi dengan persepsi kekinian yang nantinya bisa memacu langkah kreatif.

4. Pada kenyataannya, beberapa sastrawan nasional ada yang menimba inspirasi dari dongeng, sehingga mereka menghasilkan karya-karya sastra yang digali dari masa lalu, namun karena diolah secara kreatif bisa menjadi sajian dalam bentuk sastra moderen. Beberapa puisi Rendra, Goenawan Mohamad, novel YB. Mangunwijaya, Gus Tf dan lain-lain, ada yang digali dari jenis dongeng. Dari Madura diharapkan munculnya sastrawan kreatif yang bertolak dari sastra tutur.

5. Begitu pula kesenian Madura yang lain, seperti ludruk, hadrah yang asalnya berupa warisan tradisi yang erat kaitannya dengan sastra tutur, sampai sekarang masih hidup di tengah-tengah masyarakat, karena ada upaya perubahan yang disesuaikan dengan tuntutan kekinian. Upaya mengembangkan warisan tradisi tanpa membaca perjalanan zaman dan perubahan sosial yang sedang melaju akan mengalami berbagai kendala.

6. Dengan demikian daya kreatif yang memihak kegemilangan hari esok perlu dipacu untuk menjawab tantangan zaman. Daya kreatif ialah kesiapan dan kemampuan untuk mencari dan menampilkan sesuatu yang baru dan segar.

0 komentar:

Posting Komentar